Gracias Madrid! See You Istanbul..

Gracias Madrid! See You Istanbul..

BD - Saat saya menulis naskah ini, hari Minggu (2/6) jarum jam tepat di angka 7 malam hari waktu Madrid. Di Jakarta artinya jam 12 malam, karena waktu di Spanyol saat musim panas lima jam di belakang Indonesia bagian Barat. 

Matahari masih galak-galaknya. Orang lalu-lalang menikmati suhu udara bersahabat yang menyelimuti Madrid.

Spot favorit saya untuk menumpahkan ide dan cerita, sebuah gerai kopi paling beken sedunia (Anda pasti tahu). Persis di seberang TOC Hostel, tempat saya menginap selama meliput Partai Puncak Champions League 2019. 

Hanya berjarak 200m dari pusat turisik paling terkenal di Madrid, Plasa del Sol, sekaligus tempat dipusatkannya UCL Fan Festival. 

Hilang sudah orang-orang berbaju merah dan putih dengan genggaman bir kaleng seharga 1-2 yang dijajakan orang-orang berwajah Bangladesh. 

Tak ada lagi lantunan si signor atau Allez.. Allez.. Allez we've conquered all of Europe. We're never gonna stop. From Paris down to Turkey. 

Syair yang dalam beberapa hari terakhir begitu sering saya dengar dan sangat memekakkan telinga. Memulai rindu akan ulah para Englishmen selama saya ada di sini.

Berganti dengan turis biasa dari berbagai negara yang lalu lalang untuk sekedar menikmati musim panas yang baru saja ganti shift dengan musim semi yang indah di Eropa. 

Wajah-wajah sumringah tampak menghiasi para pejalan kaki, menambah indah pemandangan di ibukota tertinggi di Eropa ini, 660m dpl. 

Exitement of football has just over! But not the city..

Musim bola telah usai. Tak ada perhelatan besar usai tarung 'all english final' di Wanda Metroplitano yang membawa Liverpool berjaya di Eropa untuk enam kalinya. 

Kota Madrid kembali berteduh di antara tamu devisa yang menjadi langganan mereka saban waktu. 

UEFA mulai menghitung berapa fulus yang mereka dapatkan dari kehebatan sebuah organisasi raksasa dalam menggalang event prestisius meski faktanya mereka tak punya sejengkal otoritas atas tiap tanah di seantero Eropa. 

Liverpudlian boleh tersenyum. Karena saat matahari pertama kali muncul tadi pagi, mereka menyandang status sebagai fans dari tim yang baru saja menahbiskan sebagai yang terbaik di benua Eropa! 

Sebagian lagi masih sibuk membahas soal semalam. Boring-nya pertandingan, tiket pertandingan yang konon ada yang mencapai €7.500 ( Rp 119 juta) untuk kategori 1. Hingga aksi liar nan menghibur Kinsey Sue yang membuat urat leher rileks sejenak, kecuali Jurgen Klopp. 

Kemungkinan ini akan menjadi tulisan terakhir saya di Madrid sebelum kembali ke tanah air, besok Senin (3/6). 

Kisah-nya masih sama. Saya begitu banyak menemui para pecinta sepak bola. Jurnalis, fans, resepsionis hotel, turis biasa yang bahkan tak tahu ada final UCL di saat yang sama. 

Sesaat sebelum memainkan jari-jari ini, duduk di sebelah saya persis Richard. Seorang kakek asal Skotlandia yang juga pendukung Liverpool, berusia 70 tahun lebih. Anggota FA Council yang bercerita banyak soal Liverpool kepada saya. 

Beruntung, aksen Sotland-nya tak muncul. Saya cukup mengerti setiap ucapan yang keluar dari mulutnya. Tertawa bersama, berempati yang sama ketika tahu dirinya sempat dioperasi dan paling tidak ingin sekali saja melihat Liverpool juara UCL setelah gagal di 2007 dan tahun lalu. 

Oiya, teman saya seorang Jerman dari lembah Ruhr, Andreas Ho. Tak pernah melewatkan satu pun laga home di Westfalen Stadium dalam 20 tahun terakhir. Dia sudah kembali ke Jerman tadi subuh tak lama setelah pertandingan berakhir. 

Teman baik yang saya temui lima tahun silam di Lisbon ketika final UCL dilangsungkan. 

Rencana tahun depan ke Istanbul juga masuk list kami. 

"Haris, pesan hostel dari sekarang," pesan-nya. Tipikal Jerman, selalu well prepared. 

But who knows, I might need "Hotel" rather than hostel? 

So, thats it from me. Its time to go home. 

I'm out and see you in Istanbul! 

 

LAPORAN :Haris Pardede, MADRID

Berita Terkait