Imajinasi Liar di Derby Milan

Imajinasi Liar di Derby Milan

BD – Minggu, 24 Januari 2010. Suhu di bawah nol derajat celcius menusuk tulang menggerayangi kota Milan. Dalam posisi menyongsong derby paling mahsyur di tanah Italia, “Derby della Madoninna”. Inter Milan versus AC Milan. Waktu itu Inter yang bertindak sebagai tuan rumah dan lagi kuat-kuatnya.

Setelah menunjukkan akreditasi wartawan, petugas di gerbang mengarahkan saya ke jalur media. Agak susah juga komunikasi, sebab sampai sekarang pun orang Italia tak terlalu bagus cakap Inggris.

Setelah menyusuri tangga spiral Stadio Giuseppe Meazza yang iconic itu, tibalah saya di tribun media dengan hamparan yang membuat bulu kuduk berdiri.

Padahal, ini bukan kali pertama saya hadir dan menjadi saksi pertandingan-pertandingan besar di benua Eropa. Tapi pemandangan kala itu memang mengagumkan!

Dua curva sudah terisi penuh. Di kanan atas Milinisti menyesaki Curva Sud. Sementara di kiri atas Interisti tak mau kalah beradu chants dengan mereka.

Saya lirik jam, kick off ternyata baru akan dimulai dua jam lebih lagi. Namun suara mereka sudah nyaring sekali! Mirip dua anjing yang saling menggonggong hendak diadu.

Konstruksi jadul bangku San Siro yang terjal bisa jadi membuat decibel suara menjadi lebih nyaring. Saya sempat terpana cukup lama melihat pemandangan mahal tersebut. “Fantastik memang sepakbola Italia ini!” Pikir saya.

Setelah jepret sana jepret sini untuk kebutuhan jurnalistik (oya, waktu itu saya masih di bawah bendera Koran Sindo), saya lantas turun ke bawah untuk beli cemilan dan secangkir kopi. Maklum, udara dingin bikin perut cepet kriuk-kriuk.

Kira-kira setengah jam menjelang kick off, saya kembali ke tribun media. Mulai set up laptop, siapkan kamera. Saya taruh kopi panas saya di sisi laptop Acer Travelmate yang kini sudah almarhum dan entah di mana rimba nya.

Dalam hati: “Indah sekali hidup ini!” Hahahahahaha….

Terlihat para pemain dari kedua kesebelasan memasuki ruang ganti sehabis pitch testing dan pemanasan untuk persiapan menuju kick off.

Semakin mendekati waktu kick off, stadion berkapasitas 78.000 lebih tempat duduk itu kian ramai disesaki penonton yang mayoritas Interisti.

Nah, di momen ini-lah kegilaan kian terasa. Lomba koreo pun dimulai. Dua kubu seperti tak mau kalah beradu kreatifitas, yang belakangan banyak ditiru oleh pecinta sepakbola tanah air.

Saya lupa seperti apa bentuk koreo-nya waktu itu, yang jelas keren lah pokoknya super duper splendid.

Dalam hati saya: “menakjubkan!”

Selama 90 menit, literary itu stadion kayak mau rubuh. Hampir tidak pernah berhenti bergetar. Baik oleh bising-nya suara penonton maupun kala menyambut gol-gol dari Diego Milito dan Goran Pandev di babak pertama dan kedua, serta ketika Ronaldinho gagal menuntaskan tugasnya dari titik putih yang dihadiahkan oleh arbitro Gianluca Rocchi.

Atmosfer “Derby della Madoninna” memang gila!

Selepas pertandingan, kembali-lah saya ke hostel San Tomaso, tempat saya menginap selama di Milan. Begitu tiba, saya langsung pesan 1 capuccino. Saya masih ingat harganya €1, buka laptop dan mulai memainkan jari-jemari.

Selama menulis naskah saya hampir tidak menggunakan otak kanan maupun kiri. Saya menulis benar-benar dengan hati. Lead-nya pun saya masih ingat betul. Begini kira-kira bunyinya:

“Imajinasi paling liar sekalipun suliat untuk membayangkan atmosfer derby Milan”.

Struktur naskahnya hampir tidak ada yang saya edit, paling hanya minor. Mengalir begitu saja sampai tuts terakhir.

Langsung saya email ke compatriot terbaik saya yang baik hatinya, Hanna Farhana. Dan, saya masih inget respon dia: “I love your previous writing”.

Yahh, emang sih ada faktor subjektif nya juga karena doi seorang Interisti sejati hehehehe…

Anyway, Rabu (27/1/21) dinihari keduanya akan kembali bertemu untuk kedua kali-nya musim ini. Yang pertama di Serie A, Oktober tahun lalu di mana Milan keluar sebagai pemenang dengan skor 2-1.

Kali ini sua mereka dalam rangka perempat final Coppa Italia. Terlepas dari fokus mereka yang akan lebih terkuras di Serie A, aroma gengsi dipastikan tetap menjadi tajuk grande partita kali ini.

Saya kebetulan mendapat kepercayaan menjadi komentator pada laga yang akan disiarkan TVRI Rabu (27/1/21) dinihari. Pertemuan dua klub besar Italia ini selalu menghadirkan drama. Tak pernah sepi dari intrik.

Sudah lama memang keduanya nir prestasi. La Beneamata terakhir mencicipi scudetto pada 2010, tahun di mana kebetulan saya meliput perdana pertandingan mereka. Il Diavolo terakhir scudetto 2011, atau tepat setahun setelah Inter.

Musim ini kedua nya tampak mulai bergeliat, semangat menapaki kompetisi-kompetisi yang mereka ikuti. Di Serie A, Milan berhasil menyabet gelar tak berbentuk bernama 'Campione d'Inverno' alias juara paruh musim.

Meski kata Zlatan Ibrahimovidc itu belum berarti dirinya menggenggam piala, namun statistik mengatakan 69% penyabet gelar ini akan berakhir sebagai kampiun.

Apapun itu, yang terpenting gairah yang sudah lama sirna nampaknya sudah kembali ke "kota mode". Akankah ini berlangsung hingga satu atau bahkan dua dekade ke depan? Sebab, gairah mereka adalah gairah tifosi di seluruh dunia juga yang haus akan juara baru.

Terlalu monoton melihat dominasi Juventus selama 9 tahun terakhir, -meski ini bukan salah mereka.

 

Salam Sehat 

26.01.2021

Berita Terkait